Nama : Rena Shofhal
Kelas : 4EA35 (17213379)
Mata Kuliah : Etika Bisnis
Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) Di Indonesia:
Kasus Marsinah
Maulana Rafiq Ramadhan
Pendahuluan
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hal-hal yang
didapatkan oleh individu, bersifat pokok, fundamental, yang merupakan pemberian
dari Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi oleh
individu lain, dan sudah ada didalam diri setiap manusia dari lahir, serta
tidak dapat direbut atau digantikan.
Salah satu karakteristik HAM adalah bersifat universal,
artinya, hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia
tanpa membedakan suku bangsa, agama, ras maupun golongan. Oleh karena itu,
setiap negara wajib menegakkan HAM. Akan tetapi, karakteristik penegakkan HAM
berbeda-beda antar negara satu dengan yang lainnya. Ideologi, kebudayaan dan
nilai-nilai khas yang dimiliki suatu negara akan mempengaruhi pola penegakan
HAM di suatu negara.
Hak asasi manusia (HAM) diatur dalam UUD 1945 Pasal 28A-28J
dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tantang Hak Asasi
Manusia. Instrumen-instrumen penegakan HAM tersebut menjadi kekuatan hukum yang
mengikat dan memaksa bagi warga negara Indonesia.
Secara yuridis, Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok,
termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan
tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlangsung.
Pembahasan
Kasus Marsinah
1. Kronologis
Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra
Surya) pabrik tempat kerja Marsinah resah karena ada kabar kenaikan upah
menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada
para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada
minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di
setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam
Surat Edaran Gubernur. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT.
CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Hari itu juga, Marsinah
pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data tentang daftar upah pokok
minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak
pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan
unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift
serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk
ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang- halangi para buruh
shift II dan shift III. Para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta
merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI
kepada para pengunjuk rasa. Aparat dari koramil dan kepolisian sudah
berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung. Selanjutnya, Marsinah
meminta waktu untuk berunding dengan pengurus PT. CPS. Perundingan berjalan
dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan
kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya
perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang
tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp.
2.250,- per hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional.
Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.
Namun, pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha
tersebut belum berakhir. Pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim
Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa
dasar atau alasan yang jelas, pihak tentara mendesak agar ke-13 buruh itu
menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik
dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di
tempat yang sama. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk
menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim.
Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Marsinah marah saat
mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. Selanjutnya, Marsinah
mengancam pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan perbuatan sewenang-wenang
terhadap para buruh tersebut kepada Pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di
Surabaya dengan membawa surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya
sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 1993
Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan,
Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak
dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda
keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan
terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di
sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan
benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.
2. Penanggulangan
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu
Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim
dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik
Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan petinggi PT CPS ( Yudi Susanto,
45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong; Yudi Astono , 33 tahun,
pemimpin pabrik PT CPS Porong; Suwono, 48 tahun, kepala satpam pabrik PT CPS
Porong; Suprapto , 22 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Bambang Wuryantoyo ,
37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Widayat, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT
CPS Porong; Achmad Sutiono Prayogi , 57 tahun, satpam pabrik PT. CPS Porong;
Karyono Wongso alias Ayip, 37 tahun, kepala bagian produksi PT CPS Porong)
ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari, 26
tahun, selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu- satunya perempuan yang
ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah
tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang
diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat scenario dan menggelar rapat untuk
membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah
mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah.
Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum
aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim
Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan
terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan
tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan Penyidik Polda Jatim
terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah tersebut antara lain Pasal 340
KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165 KUHP jo Pasal 56 KUHP.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto
(pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat
rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry
putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari
Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya. Di pengadilan, Yudi
Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum
berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi
dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat
kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala
dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI
tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga
muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa" .
Kesimpulan
Pelanggaran HAM berat itu menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu, Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan genosida adalah perbuatan yang dimaksudkan untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, agama, dengan
berbagai cara. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari penyerangan yang meluas dan sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan secara langsung kepada penduduk
sipil.
Dengan melihat kasus pelanggaran HAM
diatas, dalam penyelesaiannya di Indonesia dainggap tidak tuntas. Seperti kasus
Marsinah yang menurut peradilan sudah selesai, namun masih belum diketahui
siapa pembunuhnya, sehingga tidak ada yang diadili. Jadi, penegakan HAM di
Indonesia ini belum sepenuhnya tegak dan dilaksanakan. Padahal dengan acuan
Pancasila yang sedemikian bagusnya sebagai landasan dalam penegakan HAM,
harusnya penegakan di Indonesia ini sudah dapat tegak dengan sebagaimana
mestinya. Tinggal bagaimana sekarang bangsa Indonesia akan bersungguh-sungguh
menegakan HAM di Indonesia atau malah sebaliknya dengan penegakan HAM yang
masih sangat lemah ini. Semuanya tergantung kepada bangsa Indonesia itu
sendiri.
Tanggapan
Menurut
saya penegakkan HAM di Indonesia masih belum adil karena banyak kasus di Negara
ini yang berhubungan dengan keadilan HAM. Lagi-lagi korbannya adalah rakyat
biasa yang tidak mempunyai wewenang, tahta dan harta. Faktor itulah yang
menyebabkan orang-orang tidak bisa menghargai dan bersikap seenaknya. Sedangkan
orang yang mempunyai uang banyak bisa berbuat seenaknya, karena para pelaku hokum
seperti polisi dll bisa tunduk dengannya karena dibutai oleh harta.
Saya
berharap Indonesia bisa merubah pandangan ini. Karena ini bukan rahasia umum
lagi kalau “hkum bisa dibeli”. Semoga kedepannya penerapan penegakkan HAM di Indonesia
bisa di laksanakan se adil-adilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar